FILSAFAT SENI
PERTEMUAN I
1. Agama, seni, filsafat dan Ilmu sebagai
lembaga kebenaran
Manusia dilahirkan
dengan berbagai bekal seperti fisik maupun non fisik yang melebihi berbagai
mahluk lainnya di muka bumi. Akal dan fikiran merupakan salah satu karunia yang
tak terhingga nilainya bila dibandingkan dengan mahluk lainnya. Akal adalah
salah satu lembaga bagi manusia untuk menemukan kebenaran yang dapat menjadi
pedoman bertindak dalam menjalani kehidupan. Selain akal terdapat berbagai
lembaga lain yang selalu menjadi titik tolak manusia dalam menemukan kebenaran,
lembaga lain tersebut adalah, agama, seni, dan ilmu pengetahuan.
Menurut Jakob
Sumardjo, kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir.
Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia, manusia yang
memiliki tanggungjawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan
kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap
apa yang ditemukannya, (Jakob Sumardjo, 2000 : 3)
Agama
Secara historis,
agama atau system kepercayaan merupakan lembaga kebenaran yang paling tua,
dasar agama adalah kepercayaan. Manusia percaya kepada agama sebagai kebenaran
mutlak yang harus dipatuhi secara mutlak pula. Hidup manusia diabdikan pada
kepercayaan itu. Apa yang dipercaya dalam agama bersifat adikodrati, melampaui
kodrat manusia itu sendiri. Agama sebagai lembaga kebenaran mengajarkan
kesadaran terhadap apa yang seharusnya dilakukan manusia agar dia hidup damai,
harmonis, dan selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Kebenaran agama mutlak
bagi para pemeluknya, walaupun kadang-kadang kebenaran agama tersebut dianggap
tidak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengalaman inderawi dan nalar.
Seni
Perasaan dan
intuisi merupakan alat bagi seni dalam menemukan kebenaran yang paling
mendasar, universal dan abadi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang
bersifat subjektif, kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya
dapat dihayati dan dirasakan, dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu
kebenaran yang tak kuasa dijelaskan. Kualitas perasaan tersebut harus dialami
sendiri oleh manusianya sehingga ia mampu menemukan kebenarannya. Oleh sebab
itu Jakob Sumardjo menganggap bahwa seni erat kaitannya dengan agama dalam hal
kebenaran, sebab kehadiran sesuatu yang transendental (bukan dari dunia ini
yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari,
seni music, seni teater, seni sastra, dan seni rupa erat kaitannya dengan
manusia purba yang sering melakukan upacara-upacara kepercayaan yang
menghadirkan dunia gaib melalui peristiwa kesenian. Hal tersebut terjadi karena
seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata.
Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan
demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran
ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia, tetapi yang ditemukannya
adalah realitas baru yang non-empiris.
Filsafat
Alatnya adalah
nalar, logika manusia yang bersifat spekulatif (bukan empiric), dan tak ada
metode yang baku. Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar
dan menyeluruh dalam system konseptual. Kegunaannya adalah kearifan hidup.
Ciri-ciri lembaga kebenaran filsafat adalah, konseptual, logis, universal,
mendasar, menyeluruh, mutlak, dan langgeng. Secara historis lembaga kebenaran
ini telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno, India Kuno, Cina Kuno, dan dijumpai
di berbagai pusat peradaban purba manusia.
Ilmu
Alat untuk
menemukan kebenarannya adalah nalar, logika, bermetode, dan sistematik.
Sumbernya bersifat empiric, fakta apa adanya. Tujuannya adalah pembuktian
kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya sebagai deskripsi prediksi
dan kontrol atas kenyataan empiris. Lembaga ilmu baru berkembang pesat sejak
masa renaissans Eropa pada abad ke-16.
PERTEMUAN II
2. Unsur-unsur filsafat seni
Menurut Jakob
Sumardjo (2000: 29), Filsafat seni yang merupakan bagian dari estetika modern,
tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk),
tetapi juga aktifitas manusia atas produk tersebut, baik keterlibatannya dalam
proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut. Ada tiga pokok
persoalan filsafat seni, yakni seniman atau kreator sebagai penghasil seni, karya
seni atau benda seni, dan penikmat seni atau apresiator. Antara seniman dan
public seni muncul konteks budaya seni, sedangkan dari unsure benda seni muncul
persoalan nilai seni dan pengalaman seni. Secara lebih lengkap akan dijelaskan
berikutnya.
Seniman
Setiap karya seni
muncul dari seorang seniman, apakah karya seni itu berbobot, kurang berbobot,
atau seni kelas bawah pasti muncul dari seorang seniman. Beberapa persoalan
yang sering muncul terkait seniman dengan karyanya adalah kreatifitas dan
ekspresi. Apakah yang dimaksud kreatifitas? Apa pula yang dimaksud dengan
ekspresi? Dan apa bedanya dengan refresentasi? Bagaimana masalah gender dalam
berkesenian? Apa bedanya seniman dengan pengrajin, tukang, dan desainer?
Bagaimana pribadi seniman tampak dalam karyanya yang menimbulkan beragam gaya,
dan aliran dalam seni? Seniman menekankan pada aspek ekspresi, kreasi,
orisinalitas, intuisi, imajinasi, ide, konsep, keterampilan dan referensi.
Karya Seni/Benda Seni
Karya seni adalah
hasil proses kreasi seniman berwujud visual dua dimensi maupun tiga dimensi
(Seni rupa, patung, lukis, desain, arsitektur), wujud audio (music dan sastra),
audio visual (Film, teater, seni tari) yang dapat dinikmati atau diapresiasi
melalui berbagai indra yang dimiliki oleh manusia. Benda seni atau karya seni
terkait erat dengan medium atau bahan yang digunakan dalam menciptakan karya
seni tersebut. Beberapa pertanyaan yang biasa muncul terkait karya atau benda
seni adalah apakah akrya seni merupakan peniruan kenyataan (istilah Plato
mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Persoalan subjektifitas dalam
seni (ekspresi) dan objektifitas (mimesis) berlangsung di lingkungan penciptaan
(seniman). Persoalan lainnya adalah seni tinggi dan seni rendah, seni eksklusif
dan seni pinggiran, istilah Sanento Yuliman “seni rupa bawah dan seni rupa atas” Karya seni atau
benda seni menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur, symbol, dan
estetika.
Publik Seni/Apresioator
Publik seni adalah
masyarakat luas yang berasal dari latar belakang social dan ekonomi berbeda.
Publik seni penting sebab seni bukan hanya masalah seniman dan karya seninya,
melainkan bagaimana karya seni dapat berkomunikasi atau berdialog dengan orang
lain. Agar karya seni dapat berdialog secara baik dengan masyarakatnya, maka
diperlukan seorang curator atau kritikus yang menjelaskan secara lebih obyektif
tentang struktur estetika dan makna sebuah karya seni.
Seorang seniman
disebut seniman oleh masyarakatnya sebab status yang diperjuangkannya. Walaupun
tidak seluruh masyarakat dapat diklaim sebagai public seni, namun sebagian
besar masyarakat yang pernah dan berkeinginan menikmati karya seni dapat
menjadi bagian dari public seni. Publik seni tertentu seperti kolektor dan para
konsumen seni sangat berperan dalam menentukan status dan kelas dari seorang
seniman. Publik seni menekankan pada aspek apresiasi, interpretasi, evaluasi,
konteks, pengalaman, pengetahuan, penghargaan, dan respon dari public.
PERTEMUAN III
3.
Pengertian Filsafat dan Seni
Clive Bell,
seorang filsuf seni klasik modern, seni adalah significant form (bentuk
bermakna), menurutnya, semua system estetik dimulai dari pengalaman pribadi
subjek tentang terjadinya emosi yang khas, ketika sesoorang melihat karya seni
(seni lukis), dalam dirinya akan timbul suatu perasaan atau emosi yang khas,
yang tidak sama dengan dengan perasaan sehari-hari kita seperti marah, sedih,
gembira, mulia, dll. Perasaan khas tersebut disebut emosi estetik yang muncul
dari penangkapan atas struktur estetika karya seni. Leo Tolstoi (1828-1910) Sastrawan Rusia
terkemuka
Menurut Prof. Dr.
Sudjoko, dalam bahasa jawa dikenal kata kagunan atau pakaryan yang menunjuk
pada kata seni. Kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert, seni alias kunst mempunyai
pengertian khidmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian, dan ketukangan.
PERTEMUAN IV
4. Seni sebagai ekspresi
Sering kita
mendengar istilah seni sebagai media ekspresi, apa yang dimaksud dengan
ekspresi ? serta bagaimana seorang seniman mengekspresikan perasaannya dalam
karya seni?. Ekspresi adalah sesuatu yang dikeluarkan, seperti cairan gula yang
dikeluarkan oleh tebu yang diperas, tindakan mengamuk yang dilakukan sesoorang
yang ditekan perasaan marah, atau sikap memeluk dan membelai yang dikeluarkan
oleh dua insan yang dilanda gejolak cinta.
Dalam seni, perasaan
harus dikuasai terlebih dahulu sebelum diekspresikan dalam wujud karya.
Perasaan harus dijadikan objek, diatur, dikelola, dan diendapkan sebelum
diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk karya seni.
Darimana sumber
perasaan yang diekspresikan muncul? Perasaan merupakan respon individu terhadap
sesuatu diluar dirinya, yakni lingkungan sekitarnya, persaan juga bersumber
dari gagasan dan ide individu seorang seniman. Untuk mengekspresikan perasaan
tersebut diperlukan keterampilan seniman dalam mengolah media untuk mewujudkan
ekspresi tersebut secara lebih sempurna, semakin tinggi keterampilan seniman
maka semakin sempurna pula kualitas perasaan yang diekspresikan tersebut, dan
semakin tinggi kualitas ekspresi perasaan akan menjadikan bobot karya seni yang
dihasilkan juga semakin tinggi.
Karya seni lahir
karena ada seniman yang menghadirkan karya tersebut. Menurut Jacob Sumardjo (2000:79), Karya
seni adalah kerja yang serius, sama seriusnya dengan ilmuwan mencari kenyataan
baru dari gejala alam. Perlu ada kerja keras, pengamatan data, butuh ketajaman
intuisi dalam melihat kebenaran dibalik permukaan, perlu penguasaan tekni seni
yang tinggi dan cerdas, agar dapat menghasilkan karya seni yang yang
berkualitas, baik mimesis maupun imajinatif idealis. Cara memandang dunia boleh
berbeda, cara mencari kebenaran boleh berbeda, tetapi tetap dituntut adanya
karya yang memberikan sumbangan terhadap peningkatan kualitas hidup manusia.
PERTEMUAN V
5. Seni sebagai benda
Dalam seni rupa,
penggolongan seni secara umum dibagi dua, seni murni (pure art/fine art) dan
seni pakai (apllied Art). Pure Art atau seni murni adalah seni yang diciptakan
semata-mata untuk dinikmati estetika dan keindahannya, misalnya lukisan,
patung, seni grafis, seni pahat, seni music, seni balet dan beragam seni
lainnya yang dibuat tanpa adanya unsure fungsional yang langsung berhubungan
dengan fisik manusia. Jenis seni seperti ini pada saman yunani romawi
digolongkan sebagai seni halus atau istilah Sanento Yuliman sebagai seni rupa
atas. Menurut Jakob Sumardjo seni semacam ini digolongkan sebagai seni besar
(major art) sebab dianggap sebagai seni bagi kaum yang merdeka. Para pencipta
dari jenis seni inilah yang diklaim sebagai seniman.
Sedangkan applied
art atau seni pakai adalah seni yang diciptakan dengan tujuan agar memiliki
fungsi secara langsung bagi kehidupan manusia, disamping itu juga memiliki
estetika sebagai penunjang. Sebagian karya Applied art kemudian berkembang
dengan istilah desain, dimana tuntutan kebutuhan masyarakat atas jenis seni ini
yang semakin tinggi sehingga aspek komersialisasinya dapat memberi jaminan
kesejahteraan yang lebih baik bagi para kreatornya atau desainernya.
Karya-karya seni applied art seperti mebel, tapestry, batik, busana, kerajinan
souvenir, keramik, kriya, desain interior, desain produk, desain grafis, dan
aneka desain lainnya. Para creator atau pencipta seni ini lebih sering disebut
sebagai tukang, pengrajin, atau desainer.
PERTEMUAN VI
6. Seni sebagai nilai
Secara subjektif
seni yang bernilai sangat relatif, tergantung kecenderungan selera
masing-masing penikmat. Sesoorang dari kampung atau desa yang setiap hari
mendengar music dangdut tentunya menganggap music dangdut lebih bernilai
dibanding music jazz atau music rock, atau menilai lukisan pemandangan yang
cantik dengan gunung, matahari, laut, dan pohon kelapa di dalamnya jauh lebih
bernilai dibanding lukisan ekspresionisnya Affandi, atau lukisan surealisnya
Salvador Dali. Demikian pula sebaliknya, ketika orang kota dari kalangan
ekonomi atas tentunya memiliki selera berbeda dalam memandang sebuah karya seni
yang bernilai tinggi dan karya seni bernilai rendah.
Nilai adalah
esensi, pokok yang mendasar, yang akhirnya dapat menjadi dasar-dasar normatife.
Ini diperoleh lewat pemikiran murni secara spekulatif atau lewat pendidikan
nilai. Nilai sebagai esensi, dalam seni dapat masuk ke dalam aspek intrinsik
seni, yaitu struktur bentuk seni. Tetapi juga dapat masuk dalam aspek
ekstrinsiknya berupa nilai dasar agama, moral, social, psikologi, dan politik.
Menurut Jacob
sumardjo (2000:142) Seni adalah masalah nilai. Dan nilai adalah masalah
mendasar yang bias ditemukan dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika),
dan estetika (keindahan), disamping keadilan, kebahagiaan, kegembiraan. Semua
hal itu menyangkut subyejtifitas dan objektifitas sekaligus, menyangkut hal-hal
khusus dan universal, budaya kontekstual dan esensi universal.
Nilai-nilai dasar
dalam seni menurut Jacob Sumardjo (2000:140)
Nilai penampilan (appearance), atau nilai wujud yang melahirkan benda seni. Nilai ini terdiri dari nilai bentuk dan nilai struktur Nilai isi (content), terdiri atas nilai pengetahuan, nilai rasa, intuisi atau bawah sadar manusia, nilai gagasan, dan nilai pesan atau nilai hidup (values) yang dapat terdiri atas nilai moral, nilai social, nilai religi, dll.
Nilai penampilan (appearance), atau nilai wujud yang melahirkan benda seni. Nilai ini terdiri dari nilai bentuk dan nilai struktur Nilai isi (content), terdiri atas nilai pengetahuan, nilai rasa, intuisi atau bawah sadar manusia, nilai gagasan, dan nilai pesan atau nilai hidup (values) yang dapat terdiri atas nilai moral, nilai social, nilai religi, dll.
Nilai pengungkapan
(presentation) yang dapat menunjukkan adanya bakat pribadi sesoorang, nilai
keterampilan, dan nilai medium yang dipakainya. Semua dasar-dasar nilai
tersebut menyatu padu dalam wujud seni dan tak terpisahkan, hanya dapat
dibedakan bagi kepentingan analisis seni oleh para kritikus.
PERTEMUAN VII
7. Seni sebagai pengalaman
Secara sederhana,
pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, atau peristiwa yang telah
dilalui dalam kurung waktu tertentu, dalam hal ini suatu pengalaman memiliki
awal dan akhir namun dapat menciptakan suatu kesatuan yang utuh.
Pengalaman sangat
besar peranannya dalam membentuk karakter dan paradigm sesoorang dalam
bersikap, bertindak maupun dalam mengapresiasi karya seni. Dalam hal ini ada
pepatah bijak mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik (experience is the
best teacher). Sebuah perusahaan periklanan lebih menyukai desainer grafis yang
berpengalaman dibanding desainer pemula, dan sebagian besar lowongan kerja
untuk perusahaan swasta selalu mencantumkan kata-kata “diutamakan bagi yang
berpengalaman dalam bidangnya”. Dalam memandang karya seni yang sama bias
menimbulkan beragam perbedaan disebabkan pengalaman yang dimiliki para
penanggap seni tersebut juga berbeda. Dalam hal seni, asumsinya adalah semakin
banyak pengalaman seni sesoorang maka kualitas apresiasi terhadap karya senipun
akan semakin tinggi, dan semakin kurang pengalaman seninya maka kualitas
apresiasinyapun cenderung lebih rendah. Yang jelas seluruh manusia dapat
dipastikan memiliki pengalaman seninya masing-masing.
Dalam ilmu seni,
pengalaman dengan benda seni dinamai pengalaman seni atau pengalaman estetik
atau respon estetik. Istilah ini biasanya dibicarakan dalam hubungannya dengan
penikmat seni. Pengalaman seni adalah pengalaman yang dialami oleh penikmat
seni atau penanggap seni. Seperti dalam pengalaman sehari-hari, maka pengalaman
seni juga merupakan suatu pengalaman utuh yang melibatkan perasaan, pikiran,
penginderaan, dan berbagai intuisi manusia.
Terjadinya
pengalaman seni terhadap sebuah benda seni sangat bergantung pada penanggap
seni tersebut. Pengalaman seni, atau seni itu sendiri, sebenarnya ada dalam
diri sipenanggap, bukan pada benda seni tersebut. Seni terdapat dalam
relung-relun jiwa setiap orang, jiwa seni setiap orang terbangkitkan oleh
rancangan benda seni. Oleh sebab itu seorang ahli estetetika Beneditto Croce
mengatakan bahwa benda seni itu tak ada, yang ada adalah pengalaman seni yang
terdapat dalam jiwa para penanggap seni. Dengan demikian, pengalaman seni baru
terjadi kalau penanggap aktif membangun atau menciptakan sendiri pengalamannya
terhadap benda seni.
8.
Publik Seni
Publik seni adalah
salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pokok-pokok seni, dalam hal ini
public seni memiliki peran penting dalam menentukan arah perkembangan seni dari
suatu bangsa. Semakin tinggi apresiasi seluruh public seni dalam bangsa
tersebut maka perkembangan seninyapun bisa mencapai taraf yang tinggi, namun
sebaliknya, bila public seni tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap karya
seni bangsanya akan menjadikan karya seni sebuah bangsa semakin terasing dan
terpinggirkan.
Kenyataan yang tak
bisa dipungikiri adalah disebagian Negara-negara berkembang seperti Indonesia
public seninya masih memiliki apresiasi yang dangkal terhadap seni sehingga
seni bukannya berkembang dengan baik, melainkan stagnan, bahkan jenis-jenis
seni tradisional tertentu perlahan-lahan punah, sementara sebagian yang lainnya
semakin terpinggirkan.
Menurut Jakob
Sumardjo (2000:198) mengatakan bahwa perhatian kaum terpelajar Indonesia
terhadap kesenian bangsanya masih amat tipis. Kesenian belum menjadi bagian
dari kecendekiawanannya. Kesenian masih diletakkan fungsinya sebagai rekreasi
semata, sesuatu untuk bersenang-senang sesaat. Kesenian dipandang tak lain
hanya hiburan. Barang konsumsi yang kedudukannya sama dengan keahlian sulap
David Cofferfield.
Kesenian tidak
dianggap sebagai produk pemikiran manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai
tantangan hidupnya. Bahwa kesenian yang baik bagi kaum terpelajar nilainya sama
dengan karya keilmuwan dan filsafat. Tidaklah heran apabila penggemar filsafat
di Indonesia merupakan salah satu apresiator kesenian, baik karya seni asing
yang mondial maupun yang nasional. Tapi, amat sedikit minat kaum ilmuwan, professional,
dan birokrat terhadap kesenian.
9.
Komunikasi Seni
Jacob Sumardjo
(2000:214) mengatakan bahwa karya seni diciptakan untuk orang lain, sehingga
karya tersebut baru benar-benar menjadi karya seni kalau ada penanggap yang
mampu memperoleh pengalaman seni dari karya tersebut. Dengan demikian, factor
keterkaitan antara objek seni dan subjek penanggap amat menentukan munculnya
nilai seni.
Dari pendapat
Sumardjo tersebut menggambarkan bahwa seniman dalam berkarya seni selalu
didasari oleh nilai-nilai tertentu yang bukan hanya sekedar ingin diekspresikan
semata, melainkan lebih dari itu adalah untuk dikomunikasikan pada orang lain.
Dalam hal ini fungsi seni selain sebagai media ekspresi juga merupakan media
komunikasi antara seniman dengan masyarakat atau public seni.
Ketika seorang
penanggap menyaksikan karya seni, terjadi proses pembentukan pengalaman seni.
Pengalaman seni tersebut berlangsung dalam waktu. Selama waktu tertentu
tersebutlah terjadi peleburan diri penanggap seni ke dalam karya seni.
Peleburan ini melibatkan berbagai indra yang dimiliki dan diikuti oleh aspek
kejiwaan sesoorang. Perasaan, pikiran, intuisi, dan alam bawah sadarnya
tergerak dalam menanggapi karya seni yang disaksikan. Dalam mengapresiasi karya
seni tersebut, public seni sering mengalami perasaan yang sama terhadap suatu
karya tertentu, namun kadang-kadang para penanggap seni tersebut juga berbeda
persepsi dan perasaan ketika menyaksikan sebuah karya seni, hal ini disebabkan
konteks latar belakang budaya masing-masing penanggap yang berbeda pula.
10.
Seni dalam konteks moral
Jacob Sumardjo
(2000:246) menggolongkan persoalan seni dalam hubungannya dengan karya seni
dalam tiga persoalan, yakni, (1) apakah moralitas seniman ada hubungannya
dengan karya seninya; (2) apakah karya seni itu sendiri harus mengandung moral;
(3) apakah karya seni dapat dijadikan penuntun moral bagi masyarakatnya.
Pertanyaan pertama
adalah, apakah karya seni yang mengandung nilai moral tinggi juga harus dibuat
oleh seniman bermoral tinggi?. Dalam berbagai kenyataan banyak karya-karya seni
yang mengandung nilai moral tinggi, namun dibuat oleh seorang seniman yang
moralnya berada dibawah standar moral rata-rata masyarakat. Dalam hal ini
seniman tidak dapat dituntut untuk memiliki moral yang sepadan dengan karyanya,
sebab kadang-kadang seniman dengan latar belakang hidup yang rapuh, tidak
karuan, dapat menghasilkan sebuah karya seni yang bernilai moral tinggi.
Seniman bukanlah nabi. Malaikat, ataupun guru moral, tapi seniman dapat
mengungkapkan nilai-nilai moral dalam berbagai karyanya, walaupun kadang-kadang
nilai-nilai moral yang disampaikannya itupun bertentangan dengan perilaku dan
gaya hidupnya.
Seniman hanya
dapat dituntunt segi moralnya dalam konteks kejujurannya dalam berkarya, dia
jujur pada dirinya dalam berkarya, otentik, asli, tidak menjiplak, tidak
mengakui karya orang lain sebagai karyanya, dan tidak mencuri ide orang lain,
maka seniman seperti inilah yang dianggap sebagai seniman yang bermoral. Jadi
kita kita tidak bisa menuntut seniman harus bersih dari dosa-dosa seperti seks,
narkoba, minuman keras, dan dosa-dosa lainnya, sebab banyak seniman kelas dunia
yang memiliki karya dipuja, namun kehidupan seksnya dan keluarganya kurang
beres. Ada pepatah mengatakan bahwa ‘mutiara itu tetap mutiara meskipun keluar dari
mulut seekor anjing.
11.
Seni dan
Ilmu pengetahuan
No Seni Ilmu Pengetahuan
1 Penghayatan dalam struktur pengalaman
estetis Pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu
2 Penciptaan Penemuan
3 Menghasilkan sesuatu yang belum ada
menjadi ada Selalu berdasarkan pada apa yang sudah ada
4 Pendekatan seni mengarah pada lubuk
batin manusia, disudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia Pendekatan
menggunakan perangkat intelegensia, analisis, dan pengamatan terhadap dunia
material
5 Menghadirkan kualitas pengalaman yang
unik dan spesifik, seperti kesepian, penderitaan, kemuliaan, dll. Segala
sesuatu diukur secara kuantitatif, terukur dalam parameter tertentu
6 Seni adalah perenungan, kontemplasi
bathin setelah melihat realita di luar dirinya, Observasi, pengamatan, yang
berjarak antara subjek manusia dengan objeknya
7 Transenden Imanen
8 Rohaniah, spiritual Material dan duniawi
9 Objek seni adalah adalah karakter sebuah
kualitas yang selalu bersifat individual, unik, bebas, spontan dan ajaib, penuh
peona kejutan, sesuatu yang segar dan baru, seolah-olah bari dari ketiadaan
Objek ilmu adalah kenyataan alam dan non-alam, sehingga muncul keseragaman,
homogenitas, identitas, dan kausalitas
Seni bukanlah
ilmu, tetapi, karya seni dapat menjadi objek ilmu pengetahuan. Semua hal di
dunia ini dapat ditelaah secara ilmiah. Ilmu dapat meletakkan karya seni
sebagai objek pengamatannya. Karya seni dalam ilmu bukan untuk dihayati,
melainkan untuk dipahami secara rasional. Pemahaman terhadap karya seni
tersebut akan membantu dalam menghayati karya seni tersebut. Jadi, ilmu-ilmu
seni adalah alat bantu manusia untuk dapat lebih mendalami penghayatan karya
seni. Ilmu-ilmu seni akan membantu menunjukkan kandungan nilai dalam sebuah
karya seni. Nilai yang ditunjukkan oleh ilmu tersebut dapat mengarahkan si
penghayat seni dalam membangun relasi dan empati terhadap karya seni
Seni bukan ilmu.
Seorang seniman tidak bisa memperlakukan kreatifitasnya sebagaimana seorang
ilmuwan memperlakukan ilmu. Dia harus bersikap sebagai seorang seniman, sang
pencipta yang memberi pencerahan dan pengayaan atas benda. Ilmu-ilmu seni
berkewajiban membantu orang dalam mencapai penghayatan tersebut. Ini bukan
berarti penanggap seni harus belajar ilmu seni. Ilmu seni hanya merupakan upaya
penjelasan agar lebih mudah memahami. Tanpa ilmu senipun, seorang penanggap
akan mampu menghayati karya seni secara mendalam, terutama berdasarkan
pengalamannya dalam menghayati berbagai karya seni. Padanya akan tumbuh suatu
naluri yang peka terhadap penghayatan karya seni. Hanya saja kalau diminta
penjelasan mengapa sebuah karya seni itu istimewa nilainya, dia tidak mampu
menjelaskan secara ilmiah.
Ilmu seni tidak
mungkin menggantikan kedudukan karya seni, bagaimanapun canggihnya analisis
seorang kritikus seni, tak mungkin menimbulkan penghayatan terhadap karya seni.
Setelah membaca kritik seni (ilmu seni), para penghayat diharapkan dapat lebih
siap dalam menghadapi karya seni yang dikritik.
12.
Tinjauan Estetika dan Seni
Pembicaraan
estetika sebenarnya sangat luas, bilai kita urai berdasarkan konteks
sejarahnya, maka estetika dapat dibagi menjadi beberapa, diantaranya adalah;
estetika klasik (Graeco-Roman), Estetika abad pertengahan, estetika renaisans,
estetika pencerahan, estetika romantic, estetika positivism dan naturalisme,
estetika abad ke- 20, estetika kontemporer, sampai pada estetika postmodern.
Untuk menguraikan
secara lengkap estetika berdasarkan uraian konteks sejarah tentunya tidak cukup
hanya satu atau dua pertemuan tapi butuh waktu yang lebih banyak.Oleh sebab itu
materi estetika hanya diuraikan secara garis besarnya saja.
Estetika dengan filsafat seni ibarat dua
mata koin yang tidak dapat dipisahkan, bahkan beberapa pendapat menganggap
bahwa estetika itu adalah filsafat seni sebab berbicara tentang ilmu dan teori
keindahan, sementara keindahan yang dibicarakan adalah keindahan seni.
Plato (428-348 SM)
Sumber rasa keindahan adalah cinta kasih,
karena ada cinta, maka manusia selalu ingin kembali menikmati apa yang
dicintainya itu. Rasa cinta pada manusia ini bukan hanya tertuju pada
keindahan, tetapi juga pada kebaikan (moral) dan kebenaran (ilmu pengetahuan).
Timbulnya rasa cinta pada keindahan adalah akibat pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan dapat diuraikan sebagai berikut :
Timbulnya rasa cinta pada keindahan adalah akibat pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan dapat diuraikan sebagai berikut :
• Pada awalnya orang dididik untuk
mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya keindahan tubuh seorang
manusia
• Kemudian, dia dididik untuk mencintai
keindahan tubuh yang lain, sehingga tertanam hakikat keindahan tubuh manusia
• Keindahan tubuh yang bersifat rohaniah
itu lebih luhur daripada keindahan tubuh yang sifatnya jasmaniah
• Keindahan rohaniah dapat menuntun
manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula, misalnya ilmu pengetahuan
• Akhirnya, manusia harus dapat menangkap
ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan dengan yang bersifat jasmani
Dalam memberi karakteristik tentang keindahan, Aristoteles
hampir sama dengan Plato. Keduanya menekankan adanya kesatuan dan harmoni.
Adapun ciri-ciri lengkap keindahan, baik pada alam ,aupun pada karya seni,
menurut Aristoteles adalah :
• Kesatuan atau keutuhan yang dapat
menggambarkan kesempurnaan bentuk, tak ada yang berlebih atau berkurang. Sesuatu
yang pas dank has adanya
• Harmoni atau keseimbangan antar-unsur
yang proporsional, sesuai dengan ukurannya yang khas
• Kejernihan, segalanya memberi kesan
kejelasan, terang, jernih, murni, tanpa ada keraguan
13.
Permasalahan Estetika di Indonesia
Permasalahan
estetika di Indonesia agak rumit untuk di jelaskan secara focus berada pada
fase apa dan gaya estetika apa yang mendominasi. Hal tersebut disebabkan oleh
karena keragaman etnik, multikultur, dan campur aduknya berbagai faham, aliran,
dan budaya yang terdapat di Indonesia. Budaya primitif yang masih bertahan
hingga saat ini diberbagai pedalaman irian, berbaurnya antara tradisi,
modernitas, dan postmodern diberbagai suku dan budaya di nusantara semakin
mempersulit pemahaman terhadap estetika dominan yang dimiliki nusantara.
Hal ini disebabkan oleh karena disatu sisi cara berfikir kita adalah cara berfikir manusia modern, sementara di barat cara berfikir seperti ini telah punya sejarah panjang, sementara kita hanya menimba hasil pemikiran mereka untuk menghadapi tantangan hidup kita. Perkembangan pemikiran barat kita ikuti secara cermat dan kita seolah tak mau ketinggalan dalam memperoleh informasi paling actual dari pemikiran barat, terutama dalam hal ini bidang seni. Sementara disisi lain, sebagian besar masyarakat kita masih hidup dengan cara berfikir pramodern. Cara berfikir manusia Indonesia, khususnya yang kurang terpelajar, masih mengikuti cara berfikir nenek moyangnya. Apalagi dalam bidang seni, masih banyak produk seni yang kita warisi dari nenek moyang yang cara berfikirnya pramodern dan masih bertahan hingga saat ini, walaupun selalu terpinggirkan oleh system. Produk seni masa lampau yang masih hidup dalam masa kini adalah produk seni masyarakat nenek moyang kita yang budayanya masih dalam tahap mitis.
Hal ini disebabkan oleh karena disatu sisi cara berfikir kita adalah cara berfikir manusia modern, sementara di barat cara berfikir seperti ini telah punya sejarah panjang, sementara kita hanya menimba hasil pemikiran mereka untuk menghadapi tantangan hidup kita. Perkembangan pemikiran barat kita ikuti secara cermat dan kita seolah tak mau ketinggalan dalam memperoleh informasi paling actual dari pemikiran barat, terutama dalam hal ini bidang seni. Sementara disisi lain, sebagian besar masyarakat kita masih hidup dengan cara berfikir pramodern. Cara berfikir manusia Indonesia, khususnya yang kurang terpelajar, masih mengikuti cara berfikir nenek moyangnya. Apalagi dalam bidang seni, masih banyak produk seni yang kita warisi dari nenek moyang yang cara berfikirnya pramodern dan masih bertahan hingga saat ini, walaupun selalu terpinggirkan oleh system. Produk seni masa lampau yang masih hidup dalam masa kini adalah produk seni masyarakat nenek moyang kita yang budayanya masih dalam tahap mitis.
Menurut Jakob
Sumardjo, Logika budaya mitis berbeda dengan logika budaya ontologis. Logika
mitos dan dongen rakyat berbeda dengan logika novel modern. Dalam logika mitis,
adalah wajar apabila keringat dewa yang menetes dari tubuhnya dapat menjelma
menjadi seorang dewa, didunia sana, segalanya serba mungkin, sedangkan dunia
manusia bersifat fana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar